Sabtu, 23 Januari 2010

BACAAN SETELAH AL-FATIHAH

Nabi Muhammad saw membaca surat lain setelah membaca surat al-fatihah, kadang Nabi memanjangkan suratnya kadang pula memmendekkan suratnya, tergantung beberapa hal, diantaranya karena sakit, perjalanan, batuk atau tangisan bayi., sebagaimana Anas meriwayatkan

قال أنسُ بْنُ مالكٍ
جَوَّز ذاتَ يومٍ في الفجر، فقيل:يارسولَ الله، لِمَ جَوَّزْتَ ؟ قال:"سمعْتُ بكاءَ صبيٍّ، فظننْتُ أنّ أمَّه معنا تُصلّي، فأردْتُ أنْ أفْرُغَ له أمَّه"رواه الإمام أحمد بسند صحيح

Anas bin Malik berkata : Suatu hari Nabi meringankan (mempercepat) shalat subuh, Rasul ditanya : Kenapa engkau mempercepat shalat ? Rasul menjawab : aku mendengar tangisan bayi, aku mengira ibunya shalat bersama kami, maka aku bermaksud meringankan kekhawatir ibunya (H.R Imam Ahmad dengan sanad yang shahih).

وكان يقول:إنّي َلأدْخُل في الصلاة وأنا أريدُ إطالتَها، فأسْمعُ بكاءَ الصبيِّ، فأتجوّزُ في صلاتي ممّا أعْلم من شدّةِ وَجْدِ أمِّه من بكائه" رواه البخاري ومسلم.

Dalam hadits lain Nabi saw bersabda : Sesungguhnya aku mau memasuki dalam shalat dan aku bermaksud memanjangkan shalatnya, maka aku mendengar tangisan bayi, maka aku ringankan shalatku karena aku mengetahui kegundahan seorang ibu yang mendengar tangisan anaknya (H.R Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw setelah membaca al-fatihah membaca suratnya suka menyatukan antara surat nadhair dari surat-surat mufashshal, buktinya nabi membaca surat (Ar-Rahman) dan (An-Najmu) dalam satu rakaat, surat (Iqtarabat) dan (al-Haqqah) dalam satu rakaat, surat (Ath-Thur) dan (Adz-Dzariyat) dalam satu surat, surat ( Idza waqa’at) dan ( Nun ) dalam satu rakaat, surat (Saala sailun) dan (An-Nazi’at) dalam satu surat, surat (wailun lilmuthaffifin) dan (‘Abbasa) dalam satu rakat, surat (Al-Mudatstsir) dan (Al-Muzammil) dalam satu rakaat, surat (Hal ata) dan (la uqsimu biyaumil qiyamah) dalam satu rakaat, surat (‘amma yatasaalun) dan (al-mursalat) dalam satu rakaat, surat (Ad-Dukhan) dan (idza syamsu kuwwirat) dalam satu rakaat (H.R Bukhari dan Muslim).

An-Nadhair adalah surat yang memiliki makna serupa dan Mufashshal adalah surat-surat menjelang akhir Al-Qur’an bersandar kesepakatan dan keterangan paling shahih dimulai dari surat Qaf.

وعن أبي قتادة قال: "كان رسول الله يُصَلّى بِنا، فيَقْرأ في الظهر والعصر– في الركعتين الأوليَيْن– بفاتحة الكتاب وسورتَيْن، ويُسْمِعُنا الآيةَ أحيانًا، ويُطوِّل الركعةَ الأولى، ويَقْرأ في الأُخْريَيْن بفاتحة الكتابِ".متفق عليه

Dan diriwayatkan dari Abu Qatadah, ia berkata : Rasulullah shalat bersama kami, beliau membaca dalam shalat dhuhur dan ‘ashar dalam dua rakaat pertama membaca surat fatihah dan dua surat lain dan kami mendengar terkadang beliau hanya membaca ayat, beliau melamakan rakaat pertama, dan beliau hanya membaca surat fatihah pada dua rakaat terakhir. (H.R Mutafaq alaih). (Bulug Al-maram : 58).


BASMALAH BAGIAN AYAT AL-FATIHAH

Keberadaan “Basmallah” merupakan bagian ayat dari al-fatihah, hal ini ditegaskan karena Madzhab Maliki berpendapat bahwa “Basmalah” bukan merupakan ayat Al-fatihah. Rasyid Ridha berpendapat :
Adapun bukti bahwa ‘Basmallah’ merupakan ayat dari surat al-fatihah berlandaskan alasan yang paling kuat tentang penetapan basmalah bagian dari al-fatihah yakni dengan ditulisnya ‘Basmalah’ dalam kitab induk yang resmi yang telah membagikan naskah-naskahnya Khalifah ke tiga Utsman Bin Affan ke daerah-daerah dengan pemikiran (inisiatif) para shahabat, dan telah sepakat seluruh umat akan inisiatif para shahabat itu, dan begitu pula seluruh mushhaf-mushhaf yang telah beredar sampai hari ini. (Tafsit Al-Manar : 1 : 84).


BACAAN BASMALAH DALAM AL-FATIHAH

عن نُعَيْمٍ المُجْمِر قال : صَلّيْتُ وراءَ أبي هريرةَ، فقرأَ بسم الله الرحمن الرحيم - وفيه - ويقولُ إذا سَلّمَ : " والذي نَفْسي بيده إِنّي لأشْبَهُكم صلاةً برسول الله ". أخرجه النسائى وابنُ خزيمةَ. وقد صَحّح هٰذا الحديثَ ابنُ خزيمةَ وابنُ حبّانَ والحاكمُ

Diriwayatkan dari Nuaim Al-Mujmir dia berkata : Aku shalat berma’mun kepada Abu Hurairah, dia membaca “basmalah” ( sebagian hadits tidak dimuat). Dan Abu Hurairah berkata setelah salam : Demi Dzat yang diriku dalam genggaman-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling sama Shalatnya diantara kalian dengan Rasulullah saw. (Hadits ini dikeluarkan oleh An-Nasai dan Ibnu Khazimah dan teleh menshahihkan pada
hadits ini Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim). Dan berkata Al-Hakim bahwa hadits tersbut memenuhi persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim. Al-Baihaqqi berpendapat bahwa hadits tersebut memiliki isnad yang shahih dan pendukung. Abu Bakar Al-Khathib mengatakan bahwa hadits itu kedudukannya kuat dan shahih tidak ada jalan sedikit pun untuk melemahkannya.


وعن أمّ سلَمةَ أنّها سُئِلتْ عن قراءةِ رسول الله فقالتْ :"كان يُقَطِّعُ قِراءتَه آيةً آيةً: بسم الله الرحمن الرحيم،الحمد لله ربّ العالمينَ،الرحمن الرحيمِ،مَلِك يوم الدين"

Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasannya dia ditanya tentang cara bacaan Al-fatihah Rasulullah saw, Ummu Salamah berkata : bahwa cara Rasulullah Al-fatihah dengan memotong-motong bacaan satu ayat – satu ayat, lalu Ummu slamah mencontohkannya
بسم الله الرحمن الرحيم،الحمد لله ربّ العالمينَ،الرحمن الرحيمِ،مَلِك يوم الدين
( H.R Imam Ahmad dan Abu Daud ).


. وعن قتادةَ قال : "سُئِل أنسٌ كيف كان قراءةُ النبي فقال : كانَتْ مَدًّا ثمّ قرأ بسم الله الرحمن الرحيم، يَمُدّ ببسم الله، ويَمُدّ بالرحمن، ويَمُدّ بالرحيم". رواه البخاري

Diriwayatkan dari Qatadah berkata : bahwasannya An-Nas ditanya tentang bagaimana bacaan Al-fatihah Nabi saw, Anas berkata : Bahwa bacaan fatihah Nabi itu dipanjangkan, kemudian An-Nas membaca seperti yang dibacakan Rasulullah
بسم الله الرحمن الرحيم، يَمُدّ ببسم الله، ويَمُدّ بالرحمن، ويَمُدّ بالرحيم
( H.R Bukhari)

Hadits-hadits di atas merupakan landasan / dalil tentang di syari’atkannya membaca “basmalah” dalam surat fatihah dan sesungguhnya Rasulullah saw membaca dengan panjang ( santai ) baik dalam “basmalah” atau yang lainnya. Dan ada sebagian yang berpendapat bahwa hadits di atas menjadi landasan / dalil tentang disunahkannya membaca “basmalah” dengan suara keras dalam shalat. Karena sesungguhnya bukti bacaan yang bersandar pada cara-cara yang disampaikan An-Nas, menjadikan satu kepastian bahwa An-Nas mendengar bacaan fatihah Rasulullah, karena tidak mungkin terdengar kalau seandainya bacaan itu tidak keras. (Nail Al_Authar : 2 :230)


وعن عائشةَ رضي الله عنها قالت: "كان رسول الله يَسْتَفْتِح الصلاة بالتكبيرِ، والقِراءةَ بِالحمدُ لله ربّ العالمين"، الحديث – أخرجه مبسلم

Diriwayatkan dari ‘Aisyah RA bahwasannya ia berkata : Bahwa Rasulullah memulai shalatnya dengan takbir dan selanjutnya membaca “Al-hamdulillahi Rabbil’alamin. (hadits ini masih memiliki sambungan) (dikeluarkan oleh Muslim).

Ash-Shan’ani berkata : hadits diatas telah dijawab, bahwa maksud ‘Aisyah dengan Alhamdu lillahi rabbil’alamin adalah surat alhamdulillahi rabbil’alamin sendiri bukan lafadhnya, sesungguhnya al-fatihah dinamai juga surat alhamdulillahi rabbil’alamin sebagimana telah tersebut dalam Shahih Bukhari. ( Subul As-Salam : 1 : 165 ).

Imam Bukhari menyebutkan dalam bab Fadlail Al-Qur’an, diriwayatkan dari Abu Sa’id bin Mu’alla

أنّ النبيّ قال له: ألاَ أُعَلِّمكَ أَعْظَمَ سورةٍ في القرآن ؟ فذكرَ الحديثَ – وفيه– قال : الحمدُ لله ربّ العالمين، هي السَبْعُ المَثاني

Sesungguhnya Nabi saw bersabda kepada Abu Sa’id bin Mu’alla : Tidak kah penting aku ajarkan padamu surat yang paling utama dalam Al-Qur’an ? (hadits ini dipotong matan yang lainnya) Nabi bersabda : Alhamdullullahi Rabbil’alamin, surat ini disebut pula tujuh ayat yang sering dibaca. ( Tuhfah al-Ahwadzi : 2 : 59 ).

وعن أنسٍ رضي الله عنه :"أنّ النبيَّ وأبا بكرٍ وعمرَكانوا يَفْتَتِحون الصلاةَ بالحمدُلله ربّ العالمين".متّفق عليه.

Diriwayatkan dari Anas ra : Sesungguhnya Nabi, Abu Bakar, Umar, mereka membuka shalatnya dengan Alhamdulillahi Rabbil,alamin ( H.R Mutafaq Alaih ).

Imam Syafi’I berkata : Adapun ma’na hadits tersebut sesungguhnya Nabi, Abu Bakar, Umar bahwa mereka membuka bacaannya dengan Alhamdulillahi rabbil’alamin mengandung ma’na mereka memulainya dengan membaca surat fatihah sebelum surat yang lainnya dan bukan ma’nanya bahwa mereka tidak membaca “basmalah” ( Jami’u At-Tirmidzi ma’a at-Tuhfah : 2 : 59 )

Adapun dalam riwayat Muslim ada tambahan :
"لا يَذْكرونَ بسم الله الرحمن الرحيم في أوّلِ قراءةٍ ولا في آخِرها"

Riwayat ini menyebutkan jelas tidak menyebutkan sama sekali “basmalah” baik diawal maupun diakhir fatihah.

Riwayat Muslim di atas yang menjadi landasan ulama-ulama Maliki dimana “ basmalah” bukan bagian dari al-fatihah.

Mengenai maksud hadits ini dimungkinkan Nabi, Abu Bakar, umar tidak membaca “basmalah” nya tidak dengan jahar (keras) di awal fatihah maupun diawal surat sesudahnya, jadi bukan maksud hadits diatas mentiadakan “basmalah” secara mutlak. Karena ada riwayat lain menyebutkan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-Nasai dan Ibnu Huzaimah,
كانوا يُسِرّونَ بـها أو ( لا يَجْهَرونَ بـها)
Bahwa mereka membaca “basmlah” dengan sirr (pelan) tidak dikeraskan.

Permasalahan di atas memperjelas bahwa dalil-dalil yang berpendapat “basmalah” bukan bagian dalam fatihah kedudukannya tidak kuat, sekarang tinggal tersisa perbedaan pendapat antara yang mengeraskan (jahar) dan yang membaca pelan (sirr), secara global perbedaan ini mudah sekali Karena Nabi saw sendiri terkadang menjaharkan dan kadang pula mensirrkan bacaan “basmalah” ( Syarh Al-Fath Ar-Rabbani : 3 : 190 ).

Dan Ibnu Taimiah menanggapi perbedaan di atas dengan berkata : Masalah qunut Shalat subuh dan witir, membaca keras basmalah, shifat ta’awudz dan lain sebagainya. Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa orang yang membaca basmalah dengan jahar (keras) sah shalatnya, orang yang membaca basmalah dengan sirr ( pelan ) sah shalatnya, orang yang qunut dalam shalat subuh sah shalatnya, orang tidak qunut dalam shalat subuh sah shalatnya, begitu pula qunut dalam shalat witir. ( Al-Fatawa Al-Kubra : 2 : 476).


TA'AWUDZ SEBELUM AL-FATIHAH

كان النبيّ
يَستعيذُبالله تعالى فيقول:" أعوذُ بالله من الشّيطانِ الرجيم من هَمْزِه ونَفْخِه ونَفْثِه". رواه أبو داود وابن ماجه، والدارَقطني، والحاكم وصحّحَه هو وابن حبّان والذهبيّ

Adalah Nabi saw selalu memohon perlidungan kepada Allah swt dengan mengucapkan :”aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk, yakni dari kegilaan, kesombongan dan sihir syaithan. (H.R Abu Daud, Ibnu Majah, Daraquthni dan
menshahihkan Al-Hakim, Ibnu Hibban dan Adz-Dzahabi)

وكان أحيانًا يَزيدُ فيه فيقول: " أعوذُ بالله السميع العليمِ من الشيطان الرجيم من هَمْزِه ونَفْخِه ونَفْثِه".رواه أبو داود والترمذي بسند حسن.

Dan Nabi saw terkadang menambah kata dalam ta’awudz dengan ucapan :”aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari godaan syaithan yang terkutuk, yakni dari kegilaan, kesombungan dan sihir syaithan. (H.R Abu Daud, At-Turmudzi dengan sanad yang shahih).
Imam Ahmad berkata hadits diatas merupakan dalil isti’adzah, dan dilakukan isti’adah dalam shalat setelah takbiratul ihram, menurut faham Adh-Dhahir isti’adzah dibaca setelah bertawajjuh dengan do’a-do’a, karena sesungguhnya hal tersebut merupakan ta’awudznya bacaan al-fatihah yaitu sebelum membaca al-fatihah (Subul As-salam : 1 :165). Allah swt berfirman :
فإذا قرأْتَ الْقرآنَ فَاسْتَعِذْباللهِ من الشيْطانِ الرجيم

Apabila kamu hendak membaca Al-qur”an maka mintalah perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk ( An-Nahl : 98 )

Menurut pandangan jumhur ulama makna ayat di atas, bahwa apabila kamu bermaksud membaca al-qur’an maka mintalah perlindungan, ma’na tersebut merupakan ma’na yang cocok dan mudah difahami. ( Syarh al-Muhadzdzab : 3 : 271 )

Imam Nawawi berkesimpulan tentang ta’awudz, sesungguhnya ta’awud disyari’atkan dalam raka’at awal dan dibaca setelah do’a iftitah. Hal tersebut merupakan pendapat
Imam Syafi’I dan jumhur ulama.

Imam Syafi’i berpendpat dalam kitab Al-Um dan ashabnya bahwa isi dari ta’awuzd mencakup segala sesuatu hal dalam permohonan perlindungan, tetapi yang paling utama ta’awudz dengan mengucapkan " أعوذُ بالله من الشيطانِ الرجيم ". ( Syarh Al-muhadzdzab : 3 : 270 ).


BACAAN AL-FATIHAH

Imam Syafi’i berkata : wajib membaca surat al-fatihah bagi yang shalat sendiri atau menjadi imam untuk setiap raka’at dan tidak ada gantinya selain surat al-fatihah ( Al-Um : 1 : 93 ). Dan beliau juga mengatakan : wajib secara pasti bagi ma’mum membaca surat al-fatihah pada saat imam mensirkan (pelan) bacaannya, adapun pada saat imam mengeraskan bacaannya ada dua pendapat, antara yang mengharuskan dan melarang membaca al-fatihah. ( Al-Mizan Al-Kubra : 1 : 152 )

Mayoritas pengikut madzhab syafi’i seperti Imam Bukhari, Imam Syaukani dan selainnya memilih mengharuskan membaca al-fatihah disaat imam mengeraskan bacaannya, dengan sandaran hadits Nabi

"لاصلاةَ لمن لَم يَقْرأ بفاتحةِ الكتابِ"متفق عليه

Tidak sah shalat bagi yang tidak membaca surat al-fatihah ( H.R Mutafaq alaih )

Selain hadits tersebut masih banyak hadits yang senada, diantaranya

:" لا تَفْعلوا إلاّ بأمّ القرآنِ ". رواه البخاري وغيرُه  وقولِه

Sabda Rasul saw : janganlah kamu melakukan apa-apa (wahai ma’mum) kecuali membaca al-fatihah (H.R Bukhari dan lainnya)

Berbeda dengan pendapat Imam Malik dan kebanyakan pengikutnya, Imam Ahmad dan kebanyakan pengikutnya, Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Ishaq bin Rahawaih mereka berpendapat : Apabila Imam membaca dengan mengeraskan suaranya maka ma’mum harus diam tidak boleh membaca apapun dan apabila imam membaca dengan sir (pelan) maka ma’mum membaca al-fatihan yang terdengar oleh dirinya sendiri. Mereka beralasan dengan firman Allah swt.

وإذا قُرِئَ القرأنُ فاَسْتَمِعُوا له وأَنْصِتُوا لعلّكُمْ تُرْحَمُونَ

Apabila dibacakan Al-qur’an maka kalian harus mendengarkanny dan berdiamlah kalian pasti kalian akan dikasihani (Al- A’raf : 204)

Imam Ahmad menyebutkan secara ijma ulama bahwasannya ayat di atas turun berkenaan dengan masalah shalat, dengan dukungan sabda Rasul saw

:" أقيموا صفوفَكم ثمّ ليَؤُمَّكم أحدُكُم، فإذا كبَّر فكَبِّرُوا، وإذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا " رواه مسلم وأبو داود وابن ماجه

Luruskanlah barisan-barisan kalian dan angkatlah imam salah seorang diantara kalian, apabila imam takbir maka kalian takbir dan jika imam membaca Al-qur’an maka diamlah kalian (H.R Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah).


أنّ رسول الله  وعن أبي هريرة
انْصَرَف من صلاةٍ جَهَرفيهابالقراءة، فقال: "هل قَرأ معي أحدٌ منكم آنفًا؟ فقال رجلٌ:نعم يارسولَالله. قال:"إنّي أقولُ مالي أنازِعُ القرآنَ

Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnaya Rasulullah suatu saat baru saja selesai dari melaksanakan shalat yang di dalamnya beliau mengeraskan bacaan qur’annya. Beliau bertanya : apakah ada salah seorang diantara kalian yang membaca qur’an bersamaku barusan ? maka berkata seorang lelaki, betul Ya Rasulullah. Beliau bersabda : kataku apakah mungkin aku harus mengacaukan bacaan Al-qur’an?

Semenjak peristiwa tersebut orang-orang tidak membaca al-qur’an disaat nabi mengeraskan bacaannya dalam shalat, mereka cukup mendengarkan bacaan Rasulullah.

Menyikapi dua pendapat tersebut di atas Ibnu Taimiyah menengahinya dengan berpendapat bahwa, para ulama salaf baik dari golongan shahabat maupun tabi’in diantara mereka ada yang membaca al-qur’an dan sebagian lagi ada yang tidak membaca. Al-qur’an di belakang imam. Jumhur ulama berpendapat membaca Al-qur’an di belakang imam berbeda atara imam membacanya dengan keras dan yang sir (pelan), ma’mum membaca di kala imam membaca bacaannya sir (pelan) dan tidak membaca di saat imam mengeraskan suaranya.pendapat tersebut menurut ibnu Taimiah merupakan qaol yang paling adil (moderat), sebab Allah telah berfirman :

وإذا قُرِئ القرآنُ فَاستَمِعُوا له وأنْصِتُوا لعلّكُمْ تُرْحَمُون
َApabila di bacaakan qu’an maka dengarkanlah dan diamlah kalian pasti kalian akan dikasihani. ( Al-‘araf : 204).
Maka apabila imam membaca, maka dengarkanlah dan apabila imam sir (pelan) dalam bacaannya maka ma’mum membaca, sesungguhnya bahwa membaca lebih baik daripada diam, apabila tidak ada yang bisa didengar. (Al-Fatawa al-kubra : 1 : 104)


BACAAN SETELAH TAKBIRATUL IHRAM

اللّهمَّ باعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كما باعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ والمَغْرِبِ، اللّهمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطايايَ كما يُنَقَّى الثَوْبُ الأَبْيَضُ من الدَنَسِ، اللّهمَّ اغْسِلْنِي من خَطا يايَ بالماءِ والثَلْجِ وَالْبَرَدِ . متفق عليه

1. Ya Allah jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah bersihkanlah aku dari semua kesalahan ku sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah cucilah aku dari semua kesalahan dengan air, salju dan embun. ( H.R Mutafaq alaih)

وَجَّهْتُ وَجْهِي للذِي فَطَرَ السمَواتِ والأرْضَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنا مِن المُشْرِكينَ، إنّ صَلاتِي ونُسُكِي ومَحْيايَ ومَماتِي لله ربِّ العالمينَ، لا شَرِيكَ لَهُ وبذَلكَ أُمِرْتُ،وأَنَامِن المُسْلِمينَ. رواه مسلم وأحمد وأبو داود.

2. Ku hadapkan wajahku semata kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh kelembutan dan ketundukan dan bukanlah aku dari golongan orang-orang kafir, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tidak ada sekutu bagi-Nya dan begitulah aku diperintah dan aku termasuk dari orang-arang yang berserah diri.
. .
سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وبِحَمْدِكَ، تَبَارَكَ اسْمُكَ، وتَعالىَ جَدُّكَ، ولاَ إلَهَ غَيْرُكَ. روا ه مسلم.
3. Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan puji-Mu, keberkahan Asma-Mu dan Maha Tinggi Kebesaran-Mu dan tiada tuhan selain Engkau (H.R Muslim)

اللهُ أكبر كبيرًا، والحمدُ لله كثيرًا، وسبحانَ اللهِ بُكْرةً وأصيلاً. رواه مسلم وأبو عوان

4.Allah Maha Besar Kebesaran-Nya, dan segala puji bagi Allah yang teramat banyak dan Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore hari. (H.R Muslim dan Abu ‘Awanah)


الحمدُ للهِ حمدًا كثيرًا طيّبًا مُبارَكًا فيه. رواه مسلم وأبو عوانة.

5. Segala puji bagi Allah puji yang banyak, baik dan penuh keberkahan didalamnya (H.R Muslim dan Abu ‘Awanah).


TAKBIRATUL IHRAM

Tidak sah shalat kecuali diawali dengan takbiratul ihram (yakni dengan pengucapannya) baik dalam shalat fardlu maupun dalam shalat sunat.

Takbiratul ihram dalam pandangan Imam Syafi’i dan mayoritas ulama adalah merupakan bagian dari shalat dan rukun dari rukun-rukun shalat. Adapun menurut pendapat Abu Hanifah takbiratul ihram merupakan syarat bukan dari bagian shalat.
Lafadh takbratul ihram adalah “الله أكبر “ ( Al-Adzkar : 34 ).
Mengenai pernyataan takbiratul ihram di atas kebanyakan haditsnya diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud dsb.

Imam Syafi’i mengatakan dalam kitab Al-Um bahwasannya Imam harus mengeraskan dan menjelaskan suaranya tatkala membaca takbiratul ihram tapi tidak boleh memanjangkan dan merubahnya. (Syarh Muhadzdzab : 3 : 247)

Adapun hadits yang menerangkan hal terebut di atas diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Hakim dalam shahehnya dan Adz-Dzahabi menyepakatinya. Imam Nawawi berkata, bahwa pendapat di atas merupakan madzhab yang benar dan sebagai pilihan madzhab Asy-syafi’i.

Dalam hal mengangkat tangan tatkala takbiratul ihram hadits nabi menjelaskan :

يَرْفع يَدَيْه تارةً مع التكبيرِ.رواه البخاري والنسائي وكان

- وتارةً بعد التكبيرِ. رواه البخاري والنسائي

وتارةً قبلَه.رواه البخاري وأبو داود

Dalam riwayat Bukhari dan An-Nasai, bahwasannya Rasul mengangkat kedua tangannya terkadang bersamaan dengan mengucapkan takbir dan terkadang setelah takbir. Hadits riwayat Bukhari dan Abu Daud, Rasul terkadang mengangkat tangan sebelum takbir.


وكان يَرْفَعُهما ويَجْعَلُهما حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ رواه البخاري وأبوداود والنسائي وغيرهم.
Bukhari, Abu Daud dan An-Nasai beserta yang lainnya meriwayatkan bahwasannnya Nabi Muhammad saw mengangkat kedua tangan dan menjadikan keduanya sejajar dengan kedua pundak. Adapun cara pengangkatan kedua tangan sejajar dengan kedua pundak ini merupakan pendapat yang diambil oleh madzhab Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad menurut riwayat imam Ahmad yang paling masyhur. (Al-Mizan Al-qubra: 1 :149).



يَضع اليُمْنى على ظَهْرِ كَفِّه اليُسْرى والرُسْغِ والساعِدِ. رواه أبو داود والنسائي  وكان وغيرهما بسند صحيح


وكان أحْيانًا يَقْبِض باليُمْنى على اليُسْرى. رواه النسائى وغيره بسند صحيح


ويَضَعُهما على الصَدْرِ.رواه أبو داود وابن خزيمه وأحمد وحسّنه التر مذي

Berkenaan dengan penyimpanan tangan setelah takbiratul ihram Nabi Muhammad saw memberikan contoh beberapa cara, pertama, bahwa Nabi menyimpan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, kedua An-Nasai dan yang lainnya dengan sanad yang shahih. An-Nasai dan yang lainnya meriwayatkan bahwa terkadang Nabi mengepalkan tangan kanan pada tangan kiri. Riwayat Abu daud, Ibnu Huzaimah dan Ahmad dan menghasankan At-Tirmidzi terhadap hadits ini, Bahwa Nabi suka menyimpan kedua tangannya di atas dada.


وَينْهى عن رَفْعِ البَصَرِ الى السماءِ في الصلاة. رواه أحمد ومسلم والنسائي

Nabi Muhammad melarang mengangkat pandangan ke langit di dalam shalat (H.R Ahmad, Muslim dan An-Nasai) (shifat shalat an-nabi : 87).

Adapun hadits yang menerangakan tentang menyimpan kedua tangan di bawah pusar, menurut Imam Ahmad hadits tersebut dla’if, Imam Bukhari memandang masih dalam pertimbangan, Menurut Imam Nawawi hadits tersebut dla’if secara sepakat dan Imam Syaukani berkomentar bahwa tidak ada hadits yang paling shahih tentang menyimpan kedua tangan selain hadits yang diriwayatkan Wail bin Hujrin yakni penyimpanan tangan di atas dada. (Nail Al-Authar : 2 : 210)


Senin, 18 Januari 2010

NIAT SHALAT

Pengertian niat dari segi bahasa (لغـة) adalah bermaksud, sementara menurut        istilah  (شرعًا) adalah bermaksud melakukan ibadah dengan tujuan pendekatan diri kepada Allah swt., semua perbuatan ibadah dilakukan menuju Allah semata bukan sesuatu yang lain. Dan hal ini disebut pula ikhlas. Dan ibadah memiliki makna pemurnian seluruh perbuatan hanya tertuju kepada Allah swt., sebagaimana Al-qur’an menyebutkan :

 

وماأمِرُوا إلاّ لِيَعْبُدوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَه الدينَ

 

Dan sabda Rasulullah saw  :

 

إنّما الأعمالُ بالنيّةِ
 رواه الأَئمة الستّة

 

Imam Almawardi menyebutkan bahwa ikhlas dalam pendapat mayoritas ulama adalah niat.

(Al-Fiqh Al-islami : 1 : 611)

 

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-asqalani menyimpulkan “ sesungguhnya niat kembali kepada ikhlas dan ikhlas adalah sesuatu yang satu untuk yang Satu tiada sekutu bangi-Nya.  Imam Baidlawi menyebutkan niat adalah maksud yang terarah dari seluruh perbuatan yang dilakukan hanya untuk menuju Ridha Allah dan mematuhi semua hukum-Nya.  ( Fath al-bari : 1 : 20).

 

Imam Abdur-Rahman Al-Jaziri  mengatakan bahwa umat islam harus memahami makna niat dengan sesungguhnya dan harus mengetahui juga bahwasannya apabila orang bermaksud melakukan shalat dengan tujuan sesuatu dari  perkara-perkara dunia maka sesungguhnya shalanya termasuk pada katagori bathal.  ( Kitab Al-Fiqh Ala Al-madzahib Al-arba’ah : 1 : 209)


Ibnu Qayyim berpendapat bahwa  niat  adalah bermaksud dan berencana melakukan perbuatan dan tempatnya niat adalah hati tidak ada kaitan samasekali niat dengan pengucapan lisan. Karena hal tersebut tidak dijelaskan sedikit pun baik dari Nabi maupun dari para Shahabat bahwa niat harus dengan pengucapan.   (Ighatsah al-luhfan : 1 : 136)

Rasul tidak mengajarkan mengawali shalat harus dengan pengucapan niat, sebagaimana sabdanya :

قال أبوهريرةَ كان رسول الله إذا قام إلى الصلاةِ يُكبِّر حين يَقوم. متفق عليه
-

 

Artinya : apabila seseorang mendirikan shalat maka hendaklah ia bertakbir sambil berdiri  ( H.R  Mutafaq ‘alaih).

 

Dalam hadits lain disebutkan :

 

للمُسيءِ في صلاتِه : إذا قمْتَ إلى الصلاةِ فكبِّرْ - متفق عليه-  r  وقال

Rasulullah bersabda kepada orang yang salah dalam melaksanakan shalatnya, apabila kamu melaksanakan shalat maka takbirlah ( H.R mutafaq alaih)-.

 

Imam Al-Syairazi mengatakan bahwa ada sebagian dari ashab kami (pengikut madzhab Imam Syafi’i)  mengatakan “ berniat dengan hati dan mengucapkannya dengan lisan” , ungkapan tersebut bukan apa-apa, karena sesungguhna niat adalah sesuatu yang dimaksudkan dengan hati tidak perlu pengucapan.  (Al-Muhadzdzab : 1 : 70).

 

Imam Nawawi memperjelas pernyataan di atas dengan mengutip perkataan Shahib Alhawi   (Imam Mawardi), bahwa yang mengatakan “berniat dengan hati dan mengucapkan dengan lisan”  adalah perkataan  Abu Abdillah Al-Zubairi, yang tidak merasa cukup dalam meniatkan sesuatu apabila tidak terkumpul antara memaksud hati dan pengucapan lisan, dengan alasan bersandar pada ungkapan Imam syafi’i dalam bab Hajji  sebagai berikut  :

 

إذا نَوَى حجًّا أوعُمْرةً أَجْزَأ وإنْ لم يَتَلفّظ، وليس كالصلاةِ لا تَصِحُّ إلاّ بِالنُطْق

Dalam pandangan Abu Abdillah al-Zubairi kata بِالنُطْقِ (dengan pengucapan) yang dimaksud adalah pengucapan niat, sementara dalam pandangan mayoritas ulama (pengikut Madzhab Imam Syafi’I lainnya) menyatakan bahwa ungkapan Abu Abdillah tersebut adalah salah karena yang dimaksud Imam Syafi’i dalam بِالنُطْق adalah pengucapan takbir bukan pengucapan niat.( Syarah Al-muhadzdzab : 3 : 232 ).

 

Ibnu Taimiyah mempertanyakan, bagaimana mungkin Imam Syafi’i mensunahkan suatu perkara yang tidak dilakukan Nabi Muhammad saw dalam satu shalat pun, begitu pula tidak ada seorang pun dari para khalifah dan para shahabatnya ?   ( Zad Al-Ma’ad : 1 ::201 ).

 

Para pengikut madzhab Syafi’i berselisih pendapat tentang penetapan niat, apakah masuk dalam katagori fardlu atau syarat ?  Kebanyakan mereka menyebutkan bahwa  niat adalah merupakan fardlu dari fardlu-fardlu shalat dan merupakan rukun dari rukun-rukun shalat, seperti  takbiratul ihram, membaca al-fatihah, ruku dan sebaginya. Dan menurut golongan lain (masih pengikut madzhab Syafi’i)  menyebutkan bahwa niat adalah merupakan syarat seperti menghadap qiblat dan bersuci.  (Syarh Al-muhadzdzb ; 3 : 233)

 

Imam Al-Ghazali berpendapat tentang niat, bahwasannya niat lebih menyerupai pada syarat, dalam persepsi Al-Ghazali niat itu dianggap terus menerus secara hukumnya sampai akhir shalat. Maka niat lebih menyerupai wudlu dan menghadap qiblat, hal ini dipandang pendapat yang kuat. (Kifayah Al-akhyar :1 : 84).