METODE-METODE BERIJTIHAD
Kalian telah mengetahui betapa pentingnya berijtihad, apalagi untuk masa-masa sekarang ini. Ya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut umat Islam untuk membuka cakrawala pemikirannya sehingga tidak jauh tertinggal dari yang lain. Untuk menanggapi perkembangan itu lah Islam menempatkan akal fikiran pada posisi yang penting. Banyak umat Islam menganggap bahwa selain dengan wahyu, kebenaran bisa dicapai melalui penalaran.
Dalam hukum Islam, sabagaimana telah kalian pelajari, nalar atau ra’yu merupakan sumber hukum pelengkap. Ini artinya bahwa penggunaan akal haruslah selaras dengan kehendak wahyu baik berupa Al-Qur’an maupun hadits Nabi, yaitu kemaslahatan umat manusia. Ijmak, qiyas dan fatwa merupakan beberapa contoh produk penggunaan akal manusia untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan peradaban.
Dalam ushul fiqh, kita mengenal kaidah yang berbunyi, “perubahan hukum menyesuaikan diri dengan perubahan waktu dan tempat”. Berdasarkan kaidah ini, dapat disimpulkan bahwa hukum Islam tidaklah statis tetapi dinamis. Nah, untuk mencapai hukum Islam yang selaras dengan perkembangan inilah para ulama ushul fiqh mengembangkan pelbagai metode. Satu metode dipakai satu golongan ulama dan tidak dipakai golongan lain, sementara yang lain itu mengembangkan metode sendiri. Jadi, metode yang dikembangkan beragam. Keragaman ini disebabkan oleh penafsiran mereka terhadap nas dan karena perbedaan tempat dan waktu. Namun yang jelas, semua metode ini ditujukan untuk mencapai tujuan hukum Islam, yaitu mewujudkan mashlahat dan menghindarkan diri dari mafsadat. Apa saja metode-metode ijtihad tersebut? Bagaimana metode itu dilakukan? Cermatilah bahsan berikut ini.
A. ISTIHSAN SEBAGAI METODE IJTIHAD
Dilihat dari segi bahasa, istihsan artinya menganggap sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti.
Menurut istilah syara’, sebagaimana yang didefinisikan oleh Abdul Wahhab Khallaf, istihsan ialah “berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jail (jelas) kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian dikarenakan adanya dalil yang membenarkannya.
Dari definisi di atas untuk membentuk istihsan dapat ditempuh melalui tiga cara.
a. Beralih dari yang dituntut oleh qiyas jail kepada yang dikehendaki qiyas khafi. Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan qiyas jail untuk menetapkan hukum, tetapi menggunakan qiyas khafi. Pengalihan ini dilakukan menurut perhitungan cara inilah yang paling tepat. Contoh, hukum air yang dijilat burung buas (seperti elang dan gagak). Nas syara’ tidak menyebutkan hukumnya. Bila memaki qiyas jail air bekas jilatan burung buas hukumnya tidak bersih, karena diqiyaskan dengan daging binatang buas. Qiyas jail ini dilakukan karena persamaan ‘illah, yaitu dagingnya sama-sama haram untuk dimakan dan air liurnya pun dianggap tidak suci. Maka, air jilatan burung buas dianggap tidak suci. Jika menggunakan qiyas khafi, maka hukum air bekas jilatan burung buas itu suci. Dalam hal ini, karena burung buas tidak di qiyaskan kepada binatang buas tetapi di qiyaskan kepada burung biasa. Air yang diminum burung biasa hukumnya suci karena burung itu minum dengan paruhnya sehingga air tidak bersentuhan dengan air liur yang melekat di lidahnya. Kedaan seperti ini juga berlaku pada burung buas. Meskipun dagingnya haram di makan, namun daging burung buas hanya menyatu dengan air liurnya yang tidak bersentuhan dengan air ketika minum. Burung minum dengan paruhnya, sedangkan paruh itu suci. Maka air yang dijilatnya juga suci. Cara seperti ini disebut dengan istihsan qiyas.
b. Beralih dari nas yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Artinya bahwa nas yang bersifat umum dalam keadaan tertentu hukumnya tidak dapat diterapkan karena ada sebab tertentu. Maka dalam hal ini berlakuklah dalil yang khusus. Contohnya adalah penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut ketentuan umum, Al-Qur’an menghukuminya dengan potong tangan sesuai dengan surat Al-Maidah ayat 38
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
Berdasarkan ayat tersebut tangan pencuru harus dipotong. Namun bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik atau kelaparan, maka hukum potong tangan tersebut tidak berlaku kepada pencuri sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab, cara ini disebut istihsan nas.
c. Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada hukum pengecualiaan karena adanya maslahat, ini dapat ditempuh melalui tiga jalan.
1. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf (adat kebiasaan). Contohnya, ucapan yang berlaku pada sumpah. Misalnya kalian bersumpah tidak akan makan daging. Di kemudian hari kalian makan ikan. Maka dengan istihsan kalian tidak dinyatakan melanggar sumpah, meskipun dalan Al-Qur’an ikan termasuk daging, alasannya ‘urf (kebiasaan) yang berlaku dalam ucapan sehari-hari tidak memasukan ikan dalam katagori daging.
2. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan dalam beramal dengan cara lain karena ada factor kemaslahatan. Contohnya, tanggung jawab mitra dari tukang yang memperbaiki barang, bila barang yang diperbaikinya rusak di tangannya. Berdasarkan qiyas, ia tidak wajib menggantinya karena kerusakan itu terjadi ketika ia membantu bekerja, ia wajib menggantinya demi terwujudnya kemaslahatan yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain.
3. Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindari kesulitan dan memberikan kemudahan umat . contoh adanya kelebihan atau kekurangn sedikit dalam menukar atau menimbang sesuatu dengan ukuran yang banyak. Dalam menukar apapun, sebenarnya tidak dibenarkan adanya kekurangan atau kelebihan. Semua harus pas. Namun, ketika yang ditimbang berjumlah besar, adanya kekuarangan atau kelebihan sedikit tentu dimaafkan. Kebolehan ini di dasarkan kepada pendekatan istihsan.
Para ulama yang menggunakan istihsan sebagai metode ijtihad ialah kebanyakan ulama Hanafiah. Dalil mereka atas kehujahan istihsan adalah bahwa mereka hanya berdalil dengan qiyas khafi yang menang atas qiyas jail, atau berhujah dengan maslahah mursalah (kepentingan umum), atau pengecualian hukum kulli. Menurut mereka semua itu adalah istidlah (berdalil) yang dibenarkan.
Ikhtilaf
Salah satu ulama yang menolak istihsan adalah imam Syafie. Menurutnya melakukan ijtihad tidak dapat dilakukan kecuali ada dalil-dalilnya, dan dalil tersebut adalah qiyas. Istihsan menurut Imam Safie adalah membuat hukum dengan dasar kesenangan (talzzuz) dan mengada-ada menuruti hawa nafsu. Ia pernah berkata, “siapa yang melakukan istihsan, sesungguhnya ia telah menciptakan syariat baru”.
Arguman dan dalil yang dikemukakan Imam Syafie sebagai berikut.
1. Islam adalah agama sempurna (lihat surat Al-Maidah ayat 3), sehingga tidak ada yang terlewatkan oleh Al-Qur’an. Nabi juga pernah bersabda, “aku tidak meninggalkan sesuatu pun dari sesuatu yang Allah memerintahkannya kecuali akau telah memerintahkannya (dan juga tidak meninggalkan) sesuatu yang Allah melarangnya kecuali aku telah melarangnya” (HR Ahmad).
2. Allah telah memerintahkan Nabi untuk mengikuti wahyu yang diberikan dan melarang menentukan hukumberdasarkan hawa nafsu (lihat surat Al-Maidah ayat 49).
3. Nabi dalam menentukan hukum selalu melalui wahyu. Jika belum ada wahyu, nabi menunggu. Ia tidak menentukan hukum kecuali melalui wahyu, khabar atau hadits, dan qiyas. Karena itu, bagi orang selain Nabi adalah tidak menentukan hukum agama kecuali terdapat dalam wahyu dan khabar.
4. Jika hukm boleh ditentukan tanpa dasar nas, ijma dan qiyas, maka orang yang berkemampuan akal yang tinggi pun boleh melakukan istihsan, meskipun ia tidak mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an, sunah Nabi, ijmak dan qiyas.
5. Jika seorang hakim boleh memutuskan hukum dengan pendekatan istihsan , maka hakim yang lain pun boleh melakukan istihsan pula. Jika ini terjadi, maka akan lahir keputusan hukum yang berbeda mengenai satu kasus hukum.
0 komentar:
Posting Komentar