Sabtu, 23 Januari 2010
BACAAN SETELAH AL-FATIHAH
BASMALAH BAGIAN AYAT AL-FATIHAH
BACAAN BASMALAH DALAM AL-FATIHAH
Diriwayatkan dari Anas ra : Sesungguhnya Nabi, Abu Bakar, Umar, mereka membuka shalatnya dengan Alhamdulillahi Rabbil,alamin ( H.R Mutafaq Alaih ).
TA'AWUDZ SEBELUM AL-FATIHAH
يَستعيذُبالله تعالى فيقول:" أعوذُ بالله من الشّيطانِ الرجيم من هَمْزِه ونَفْخِه ونَفْثِه". رواه أبو داود وابن ماجه، والدارَقطني، والحاكم وصحّحَه هو وابن حبّان والذهبيّ
Adalah Nabi saw selalu memohon perlidungan kepada Allah swt dengan mengucapkan :”aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk, yakni dari kegilaan, kesombongan dan sihir syaithan. (H.R Abu Daud, Ibnu Majah, Daraquthni dan
menshahihkan Al-Hakim, Ibnu Hibban dan Adz-Dzahabi)
Dan Nabi saw terkadang menambah kata dalam ta’awudz dengan ucapan :”aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari godaan syaithan yang terkutuk, yakni dari kegilaan, kesombungan dan sihir syaithan. (H.R Abu Daud, At-Turmudzi dengan sanad yang shahih).
Imam Ahmad berkata hadits diatas merupakan dalil isti’adzah, dan dilakukan isti’adah dalam shalat setelah takbiratul ihram, menurut faham Adh-Dhahir isti’adzah dibaca setelah bertawajjuh dengan do’a-do’a, karena sesungguhnya hal tersebut merupakan ta’awudznya bacaan al-fatihah yaitu sebelum membaca al-fatihah (Subul As-salam : 1 :165). Allah swt berfirman :
فإذا قرأْتَ الْقرآنَ فَاسْتَعِذْباللهِ من الشيْطانِ الرجيم
Apabila kamu hendak membaca Al-qur”an maka mintalah perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk ( An-Nahl : 98 )
Menurut pandangan jumhur ulama makna ayat di atas, bahwa apabila kamu bermaksud membaca al-qur’an maka mintalah perlindungan, ma’na tersebut merupakan ma’na yang cocok dan mudah difahami. ( Syarh al-Muhadzdzab : 3 : 271 )
Imam Nawawi berkesimpulan tentang ta’awudz, sesungguhnya ta’awud disyari’atkan dalam raka’at awal dan dibaca setelah do’a iftitah. Hal tersebut merupakan pendapat
Imam Syafi’I dan jumhur ulama.
Imam Syafi’i berpendpat dalam kitab Al-Um dan ashabnya bahwa isi dari ta’awuzd mencakup segala sesuatu hal dalam permohonan perlindungan, tetapi yang paling utama ta’awudz dengan mengucapkan " أعوذُ بالله من الشيطانِ الرجيم ". ( Syarh Al-muhadzdzab : 3 : 270 ).
BACAAN AL-FATIHAH
Tidak sah shalat bagi yang tidak membaca surat al-fatihah ( H.R Mutafaq alaih )
Selain hadits tersebut masih banyak hadits yang senada, diantaranya
Sabda Rasul saw : janganlah kamu melakukan apa-apa (wahai ma’mum) kecuali membaca al-fatihah (H.R Bukhari dan lainnya)
انْصَرَف من صلاةٍ جَهَرفيهابالقراءة، فقال: "هل قَرأ معي أحدٌ منكم آنفًا؟ فقال رجلٌ:نعم يارسولَالله. قال:"إنّي أقولُ مالي أنازِعُ القرآنَ
Semenjak peristiwa tersebut orang-orang tidak membaca al-qur’an disaat nabi mengeraskan bacaannya dalam shalat, mereka cukup mendengarkan bacaan Rasulullah.
Menyikapi dua pendapat tersebut di atas Ibnu Taimiyah menengahinya dengan berpendapat bahwa, para ulama salaf baik dari golongan shahabat maupun tabi’in diantara mereka ada yang membaca al-qur’an dan sebagian lagi ada yang tidak membaca. Al-qur’an di belakang imam. Jumhur ulama berpendapat membaca Al-qur’an di belakang imam berbeda atara imam membacanya dengan keras dan yang sir (pelan), ma’mum membaca di kala imam membaca bacaannya sir (pelan) dan tidak membaca di saat imam mengeraskan suaranya.pendapat tersebut menurut ibnu Taimiah merupakan qaol yang paling adil (moderat), sebab Allah telah berfirman :
BACAAN SETELAH TAKBIRATUL IHRAM
1. Ya Allah jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah bersihkanlah aku dari semua kesalahan ku sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah cucilah aku dari semua kesalahan dengan air, salju dan embun. ( H.R Mutafaq alaih)
وَجَّهْتُ وَجْهِي للذِي فَطَرَ السمَواتِ والأرْضَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنا مِن المُشْرِكينَ، إنّ صَلاتِي ونُسُكِي ومَحْيايَ ومَماتِي لله ربِّ العالمينَ، لا شَرِيكَ لَهُ وبذَلكَ أُمِرْتُ،وأَنَامِن المُسْلِمينَ. رواه مسلم وأحمد وأبو داود.
2. Ku hadapkan wajahku semata kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh kelembutan dan ketundukan dan bukanlah aku dari golongan orang-orang kafir, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tidak ada sekutu bagi-Nya dan begitulah aku diperintah dan aku termasuk dari orang-arang yang berserah diri.
. .
سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وبِحَمْدِكَ، تَبَارَكَ اسْمُكَ، وتَعالىَ جَدُّكَ، ولاَ إلَهَ غَيْرُكَ. روا ه مسلم.
3. Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan puji-Mu, keberkahan Asma-Mu dan Maha Tinggi Kebesaran-Mu dan tiada tuhan selain Engkau (H.R Muslim)
اللهُ أكبر كبيرًا، والحمدُ لله كثيرًا، وسبحانَ اللهِ بُكْرةً وأصيلاً. رواه مسلم وأبو عوان
4.Allah Maha Besar Kebesaran-Nya, dan segala puji bagi Allah yang teramat banyak dan Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore hari. (H.R Muslim dan Abu ‘Awanah)
الحمدُ للهِ حمدًا كثيرًا طيّبًا مُبارَكًا فيه. رواه مسلم وأبو عوانة.
5. Segala puji bagi Allah puji yang banyak, baik dan penuh keberkahan didalamnya (H.R Muslim dan Abu ‘Awanah).
TAKBIRATUL IHRAM
Takbiratul ihram dalam pandangan Imam Syafi’i dan mayoritas ulama adalah merupakan bagian dari shalat dan rukun dari rukun-rukun shalat. Adapun menurut pendapat Abu Hanifah takbiratul ihram merupakan syarat bukan dari bagian shalat.
Lafadh takbratul ihram adalah “الله أكبر “ ( Al-Adzkar : 34 ).
Mengenai pernyataan takbiratul ihram di atas kebanyakan haditsnya diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud dsb.
Imam Syafi’i mengatakan dalam kitab Al-Um bahwasannya Imam harus mengeraskan dan menjelaskan suaranya tatkala membaca takbiratul ihram tapi tidak boleh memanjangkan dan merubahnya. (Syarh Muhadzdzab : 3 : 247)
Adapun hadits yang menerangkan hal terebut di atas diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Hakim dalam shahehnya dan Adz-Dzahabi menyepakatinya. Imam Nawawi berkata, bahwa pendapat di atas merupakan madzhab yang benar dan sebagai pilihan madzhab Asy-syafi’i.
Dalam hal mengangkat tangan tatkala takbiratul ihram hadits nabi menjelaskan :
يَرْفع يَدَيْه تارةً مع التكبيرِ.رواه البخاري والنسائي وكان
- وتارةً بعد التكبيرِ. رواه البخاري والنسائي
وتارةً قبلَه.رواه البخاري وأبو داود
Dalam riwayat Bukhari dan An-Nasai, bahwasannya Rasul mengangkat kedua tangannya terkadang bersamaan dengan mengucapkan takbir dan terkadang setelah takbir. Hadits riwayat Bukhari dan Abu Daud, Rasul terkadang mengangkat tangan sebelum takbir.
وكان يَرْفَعُهما ويَجْعَلُهما حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ رواه البخاري وأبوداود والنسائي وغيرهم.
Bukhari, Abu Daud dan An-Nasai beserta yang lainnya meriwayatkan bahwasannnya Nabi Muhammad saw mengangkat kedua tangan dan menjadikan keduanya sejajar dengan kedua pundak. Adapun cara pengangkatan kedua tangan sejajar dengan kedua pundak ini merupakan pendapat yang diambil oleh madzhab Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad menurut riwayat imam Ahmad yang paling masyhur. (Al-Mizan Al-qubra: 1 :149).
يَضع اليُمْنى على ظَهْرِ كَفِّه اليُسْرى والرُسْغِ والساعِدِ. رواه أبو داود والنسائي وكان وغيرهما بسند صحيح
وكان أحْيانًا يَقْبِض باليُمْنى على اليُسْرى. رواه النسائى وغيره بسند صحيح
ويَضَعُهما على الصَدْرِ.رواه أبو داود وابن خزيمه وأحمد وحسّنه التر مذي
Berkenaan dengan penyimpanan tangan setelah takbiratul ihram Nabi Muhammad saw memberikan contoh beberapa cara, pertama, bahwa Nabi menyimpan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, kedua An-Nasai dan yang lainnya dengan sanad yang shahih. An-Nasai dan yang lainnya meriwayatkan bahwa terkadang Nabi mengepalkan tangan kanan pada tangan kiri. Riwayat Abu daud, Ibnu Huzaimah dan Ahmad dan menghasankan At-Tirmidzi terhadap hadits ini, Bahwa Nabi suka menyimpan kedua tangannya di atas dada.
وَينْهى عن رَفْعِ البَصَرِ الى السماءِ في الصلاة. رواه أحمد ومسلم والنسائي
Nabi Muhammad melarang mengangkat pandangan ke langit di dalam shalat (H.R Ahmad, Muslim dan An-Nasai) (shifat shalat an-nabi : 87).
Adapun hadits yang menerangakan tentang menyimpan kedua tangan di bawah pusar, menurut Imam Ahmad hadits tersebut dla’if, Imam Bukhari memandang masih dalam pertimbangan, Menurut Imam Nawawi hadits tersebut dla’if secara sepakat dan Imam Syaukani berkomentar bahwa tidak ada hadits yang paling shahih tentang menyimpan kedua tangan selain hadits yang diriwayatkan Wail bin Hujrin yakni penyimpanan tangan di atas dada. (Nail Al-Authar : 2 : 210)
Senin, 18 Januari 2010
NIAT SHALAT
Pengertian niat dari segi bahasa (لغـة) adalah bermaksud, sementara menurut istilah (شرعًا) adalah bermaksud melakukan ibadah dengan tujuan pendekatan diri kepada Allah swt., semua perbuatan ibadah dilakukan menuju Allah semata bukan sesuatu yang lain. Dan hal ini disebut pula ikhlas. Dan ibadah memiliki makna pemurnian seluruh perbuatan hanya tertuju kepada Allah swt., sebagaimana Al-qur’an menyebutkan :
Dan sabda Rasulullah saw :
Imam Almawardi menyebutkan bahwa ikhlas dalam pendapat mayoritas ulama adalah niat.
(Al-Fiqh Al-islami : 1 : 611)
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-asqalani menyimpulkan “ sesungguhnya niat kembali kepada ikhlas dan ikhlas adalah sesuatu yang satu untuk yang Satu tiada sekutu bangi-Nya. Imam Baidlawi menyebutkan niat adalah maksud yang terarah dari seluruh perbuatan yang dilakukan hanya untuk menuju Ridha Allah dan mematuhi semua hukum-Nya. ( Fath al-bari : 1 : 20).
Imam Abdur-Rahman Al-Jaziri mengatakan bahwa umat islam harus memahami makna niat dengan sesungguhnya dan harus mengetahui juga bahwasannya apabila orang bermaksud melakukan shalat dengan tujuan sesuatu dari perkara-perkara dunia maka sesungguhnya shalanya termasuk pada katagori bathal. ( Kitab Al-Fiqh
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa niat adalah bermaksud dan berencana melakukan perbuatan dan tempatnya niat adalah hati tidak ada kaitan samasekali niat dengan pengucapan lisan. Karena hal tersebut tidak dijelaskan sedikit pun baik dari Nabi maupun dari para Shahabat bahwa niat harus dengan pengucapan. (Ighatsah al-luhfan : 1 : 136)
Rasul tidak mengajarkan mengawali shalat harus dengan pengucapan niat, sebagaimana sabdanya :
Artinya : apabila seseorang mendirikan shalat maka hendaklah ia bertakbir sambil berdiri ( H.R Mutafaq ‘alaih).
Dalam hadits lain disebutkan :
للمُسيءِ في صلاتِه : إذا قمْتَ إلى الصلاةِ فكبِّرْ - متفق عليه- r وقال
Rasulullah bersabda kepada orang yang salah dalam melaksanakan shalatnya, apabila kamu melaksanakan shalat maka takbirlah ( H.R mutafaq alaih)-.
Imam Al-Syairazi mengatakan bahwa ada sebagian dari ashab kami (pengikut madzhab Imam Syafi’i) mengatakan “ berniat dengan hati dan mengucapkannya dengan lisan” , ungkapan tersebut bukan apa-apa, karena sesungguhna niat adalah sesuatu yang dimaksudkan dengan hati tidak perlu pengucapan. (Al-Muhadzdzab : 1 : 70).
Imam Nawawi memperjelas pernyataan di atas dengan mengutip perkataan Shahib Alhawi (Imam Mawardi), bahwa yang mengatakan “berniat dengan hati dan mengucapkan dengan lisan” adalah perkataan Abu Abdillah Al-Zubairi, yang tidak merasa cukup dalam meniatkan sesuatu apabila tidak terkumpul antara memaksud hati dan pengucapan lisan, dengan alasan bersandar pada ungkapan Imam syafi’i dalam bab Hajji sebagai berikut :
إذا نَوَى حجًّا أوعُمْرةً أَجْزَأ وإنْ لم يَتَلفّظ، وليس كالصلاةِ لا تَصِحُّ إلاّ بِالنُطْق
Dalam pandangan Abu Abdillah al-Zubairi kata بِالنُطْقِ (dengan pengucapan) yang dimaksud adalah pengucapan niat, sementara dalam pandangan mayoritas ulama (pengikut Madzhab Imam Syafi’I lainnya) menyatakan bahwa ungkapan Abu Abdillah tersebut adalah salah karena yang dimaksud Imam Syafi’i dalam بِالنُطْق adalah pengucapan takbir bukan pengucapan niat.( Syarah Al-muhadzdzab : 3 : 232 ).
Ibnu Taimiyah mempertanyakan, bagaimana mungkin Imam Syafi’i mensunahkan suatu perkara yang tidak dilakukan Nabi Muhammad saw dalam satu shalat pun, begitu pula tidak ada seorang pun dari para khalifah dan para shahabatnya ? ( Zad Al-Ma’ad : 1 ::201 ).
Imam Al-Ghazali berpendapat tentang niat, bahwasannya niat lebih menyerupai pada syarat, dalam persepsi Al-Ghazali niat itu dianggap terus menerus secara hukumnya sampai akhir shalat. Maka niat lebih menyerupai wudlu dan menghadap qiblat, hal ini dipandang pendapat yang kuat. (Kifayah Al-akhyar :1 : 84).