Senin, 18 Januari 2010

NIAT SHALAT

Pengertian niat dari segi bahasa (لغـة) adalah bermaksud, sementara menurut        istilah  (شرعًا) adalah bermaksud melakukan ibadah dengan tujuan pendekatan diri kepada Allah swt., semua perbuatan ibadah dilakukan menuju Allah semata bukan sesuatu yang lain. Dan hal ini disebut pula ikhlas. Dan ibadah memiliki makna pemurnian seluruh perbuatan hanya tertuju kepada Allah swt., sebagaimana Al-qur’an menyebutkan :

 

وماأمِرُوا إلاّ لِيَعْبُدوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَه الدينَ

 

Dan sabda Rasulullah saw  :

 

إنّما الأعمالُ بالنيّةِ
 رواه الأَئمة الستّة

 

Imam Almawardi menyebutkan bahwa ikhlas dalam pendapat mayoritas ulama adalah niat.

(Al-Fiqh Al-islami : 1 : 611)

 

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-asqalani menyimpulkan “ sesungguhnya niat kembali kepada ikhlas dan ikhlas adalah sesuatu yang satu untuk yang Satu tiada sekutu bangi-Nya.  Imam Baidlawi menyebutkan niat adalah maksud yang terarah dari seluruh perbuatan yang dilakukan hanya untuk menuju Ridha Allah dan mematuhi semua hukum-Nya.  ( Fath al-bari : 1 : 20).

 

Imam Abdur-Rahman Al-Jaziri  mengatakan bahwa umat islam harus memahami makna niat dengan sesungguhnya dan harus mengetahui juga bahwasannya apabila orang bermaksud melakukan shalat dengan tujuan sesuatu dari  perkara-perkara dunia maka sesungguhnya shalanya termasuk pada katagori bathal.  ( Kitab Al-Fiqh Ala Al-madzahib Al-arba’ah : 1 : 209)


Ibnu Qayyim berpendapat bahwa  niat  adalah bermaksud dan berencana melakukan perbuatan dan tempatnya niat adalah hati tidak ada kaitan samasekali niat dengan pengucapan lisan. Karena hal tersebut tidak dijelaskan sedikit pun baik dari Nabi maupun dari para Shahabat bahwa niat harus dengan pengucapan.   (Ighatsah al-luhfan : 1 : 136)

Rasul tidak mengajarkan mengawali shalat harus dengan pengucapan niat, sebagaimana sabdanya :

قال أبوهريرةَ كان رسول الله إذا قام إلى الصلاةِ يُكبِّر حين يَقوم. متفق عليه
-

 

Artinya : apabila seseorang mendirikan shalat maka hendaklah ia bertakbir sambil berdiri  ( H.R  Mutafaq ‘alaih).

 

Dalam hadits lain disebutkan :

 

للمُسيءِ في صلاتِه : إذا قمْتَ إلى الصلاةِ فكبِّرْ - متفق عليه-  r  وقال

Rasulullah bersabda kepada orang yang salah dalam melaksanakan shalatnya, apabila kamu melaksanakan shalat maka takbirlah ( H.R mutafaq alaih)-.

 

Imam Al-Syairazi mengatakan bahwa ada sebagian dari ashab kami (pengikut madzhab Imam Syafi’i)  mengatakan “ berniat dengan hati dan mengucapkannya dengan lisan” , ungkapan tersebut bukan apa-apa, karena sesungguhna niat adalah sesuatu yang dimaksudkan dengan hati tidak perlu pengucapan.  (Al-Muhadzdzab : 1 : 70).

 

Imam Nawawi memperjelas pernyataan di atas dengan mengutip perkataan Shahib Alhawi   (Imam Mawardi), bahwa yang mengatakan “berniat dengan hati dan mengucapkan dengan lisan”  adalah perkataan  Abu Abdillah Al-Zubairi, yang tidak merasa cukup dalam meniatkan sesuatu apabila tidak terkumpul antara memaksud hati dan pengucapan lisan, dengan alasan bersandar pada ungkapan Imam syafi’i dalam bab Hajji  sebagai berikut  :

 

إذا نَوَى حجًّا أوعُمْرةً أَجْزَأ وإنْ لم يَتَلفّظ، وليس كالصلاةِ لا تَصِحُّ إلاّ بِالنُطْق

Dalam pandangan Abu Abdillah al-Zubairi kata بِالنُطْقِ (dengan pengucapan) yang dimaksud adalah pengucapan niat, sementara dalam pandangan mayoritas ulama (pengikut Madzhab Imam Syafi’I lainnya) menyatakan bahwa ungkapan Abu Abdillah tersebut adalah salah karena yang dimaksud Imam Syafi’i dalam بِالنُطْق adalah pengucapan takbir bukan pengucapan niat.( Syarah Al-muhadzdzab : 3 : 232 ).

 

Ibnu Taimiyah mempertanyakan, bagaimana mungkin Imam Syafi’i mensunahkan suatu perkara yang tidak dilakukan Nabi Muhammad saw dalam satu shalat pun, begitu pula tidak ada seorang pun dari para khalifah dan para shahabatnya ?   ( Zad Al-Ma’ad : 1 ::201 ).

 

Para pengikut madzhab Syafi’i berselisih pendapat tentang penetapan niat, apakah masuk dalam katagori fardlu atau syarat ?  Kebanyakan mereka menyebutkan bahwa  niat adalah merupakan fardlu dari fardlu-fardlu shalat dan merupakan rukun dari rukun-rukun shalat, seperti  takbiratul ihram, membaca al-fatihah, ruku dan sebaginya. Dan menurut golongan lain (masih pengikut madzhab Syafi’i)  menyebutkan bahwa niat adalah merupakan syarat seperti menghadap qiblat dan bersuci.  (Syarh Al-muhadzdzb ; 3 : 233)

 

Imam Al-Ghazali berpendapat tentang niat, bahwasannya niat lebih menyerupai pada syarat, dalam persepsi Al-Ghazali niat itu dianggap terus menerus secara hukumnya sampai akhir shalat. Maka niat lebih menyerupai wudlu dan menghadap qiblat, hal ini dipandang pendapat yang kuat. (Kifayah Al-akhyar :1 : 84).      




0 komentar:

Posting Komentar